KERAJAAN
ACEH
Gambar 12. Peta kekuasaan Aceh |
Ketika
Malaka belum dikuasai Portugis pada tahun 1511, Aceh berada di bawah kekuasaan
Pedir. Berdirinya Kerajaan Aceh berkaitan dengan runtuhnya Malaka karena
setelah Malaka dikuasai Portugis banyak pedagang Islam dari Malaka yang pindah
ke Aceh. Kapal-kapal dagang dari Asia Selatan tidak lagi singgah di Malaka,
tetapi banyak kapal yang singgah di Aceh kemudian menyusuri pantai barat
Sumatera masuk Selat Sunda dan singgah di Banten.
A.
Kehidupan
Politik
Aceh mulai berkembang setelah Malaka
diduduki oleh Portugis tahun 1511 sebab sebagian besar pedagang-pedagang Islam
dari Malaka pindah ke Aceh. Di samping itu, jatuhnya Samudra Pasai ke tangan
Portugis (1521), menambah keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri
dari Pedir dan berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1528)
sebagai raja pertamanya. Pusat pemerintahan
Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang).
Pada masa awal berdirinya, kehidupan
politik Aceh berada di bawah kekuasaan beberapa orang Sultan yang berusaha
mengadakan perluasan wilayah ke Daya, Pasai, Siak, dan Aru di pantai timur
Sumatra. Disamping itu, Aceh berusaha merebut hegemoni di Selat Malaka dari
kekuasaan Portugis.
Pada masa kekuasaan Sultan Alaudin Al
Kahar tahun 1564 Aceh menyerang Johor dan menawan Sultan Johor. Pada masa
kekuasaan Alaudin Riayat Syah (1588-1604) Aceh berusaha merebut Malaka Tetapi
gagal. Pada waktu ini pula singgahnya ekspedisi Belanda di bawah Cornelius de
Houtman. Pada masa kekuasaan Sultan Ali Riayat Syah, Aceh diserang oleh
Portugis karena portugis ingin memonopoli perdagangan lada di Aceh.
Gambar 13. Makam Iskandar Muda |
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia bercita-cita untuk
menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan
di Semenanjung Malaka harus ditaklukkan, seperti Pahang, Kedah, Perlak, Johor
dan sebagainya. Dasar-dasar semangat yang kuat dari Iskandar Muda telah
menjadikan Aceh mencapai keemasannya. Keadaan ini hanya berlangsung sampai
pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1636-1641), akan tetapi ia tidak lama
memerintah karena pada tahun 1641 ia wafat. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang
oleh permaisurinya (putri Iskandar Muda) dengan bergelar Putri Sri Alam
Permaisuri (1641-1675).
Setelah itu Aceh mengalami terus
megalami kemunduran yang disebabkan oleh tidak terdapat raja-raja besar yang
mampu mengendalikan daerah Aceh yang sangat luas setelah Sultan Iskandar Muda,
terjadinya pertentangn antara golongan Teuku (bangsawan) dengan golongan Tengku
(ulama) serta adanya pertentangan aliran syi’ah dengan Sunnah Wal Jamaah, banyak
daerah kekuasaan yang melepaskan diri sebagai daerah yang merdeka seperti
Johor, Pahang, Perlak, Minangkabau, dan Siak dan Belanda berhasil merebut
Malaka pada tahun 1641 sehingga mempersulit perdagangan dan pelayaran Aceh.
Kadang-kadang Belanda juga melakukan adu domba demi keuntungan perdagangan yang
lebih besar. Akhirnya, Kerajaan Aceh runtuh setelah berkuasa hampir empat abad
lamanya, setelah Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
B.
Kehidupan
Sosial Ekonomi
Kehidupan perekonomian yang utama dari
masyarakat Aceh ialah perdagangan. Pada masa kejayaan Aceh, perekonomian Aceh
berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur
Sumatra banyak menghasilkan lada. Aceh mengembangkan lada sebagai komoditas
dagang utama, monopoli perdagangan lada serta menarik bea cukai terhadap
barang-barang yang keluar masuk pelabuhan. Aceh juga memfungsikan pelabuhan
Aceh sebagai stasiun pelayaran sehingga menarik para pedagang dari Barat dan
Timur. Selain lada, dari Aceh juga diekspor beras, timah, emas, perak, dan
rempah-rempah.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh
diikuti dengan kemakmuran yang terus meningkat sehingga berkembang sistem
feodalisme dan sistem agama yang ditandai dengan terbentuknya, golongan Teuku,
yaitu kaum bangsawan yang memegang kekuasaan pemerintahan sipil dan golongan Tengku,
yaitu kaum agama yang memegang peranan penting dalam bidang agama.
Tata pemerintahan Aceh diatur dalam
undang-undang yang disebut Adat Mahkota Alam. Berdasarkan tata pemerintahan
tersebut, wilayah Aceh dibagi dalam wilayah sagi dan wilayah pusat kerajaan.
Setiap sagi terdiri dari sejumlah mukmin dan dikepalai oleh panglima sagi yang
disebut hulubalang besar
C.
Kehidupan
Budaya dan Keagamaan
Dalam kehidupan keagamaan di Aceh berkembang aliran Syi’ah dan aliran
Sunnah Wal Jamaah. Aliran Syi’ah diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan muridnya
Syamsuddi Pasai. Aliran ini mendapat perlindungan pada masa Sultan Iskandar
Muda sehingga bisa berkembang keluar daerah Aceh, sedangkan aliran Sunnah Wal
Jamaah berkembang setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda. Tokohnya adalah
Nuruddin ar Raniri, ia juga menulis buku sejarah Aceh yang berjudul
Bustanussalatin (taman raja-raja) yang isinya tentang adat istiadat Aceh serta
ajaran agama Islam.
Kehidupan kebudayaan yang berkembang di Aceh, selain filsafat dan
sastra, masalah agama pun sangat diperhatikan masyarakat. Ulama besar yang
terkenal pada zaman itu adalah Hamzah Fansuri yang mengajarkan ilmu tasawuf dan
Nuruddin ar Raniri yang sangat menentang terhadap ajaran Hamzah Fansuri.
Gambar 14. Masjid Baiturrahman |
Semakin meningkatnya hubungan Aceh dengan negara-negara Arab membuat
maka pengaruh ajaran Islam dalam kehidupan agama di Aceh menjadi sangat kuat.
Julukan Aceh sebagai Serambi Mekah menunjukkan adanya pengaruh Islam yang kuat
dari negara-negara Arab. Perkembangan kebudayaan di Aceh tidak sama halnya
dengan perkembangan kebudayaan dalam aktifitas perekonomian, peninggalan
kebudayaan yang ditinggalkan Aceh adalah bangunan mesjid yang dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu Mesjid Baiturrahman.